expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Thursday 22 January 2015

Ally by Arleen Amidjaja

Cover Final Ally

Judul: Ally - All These Lives
Pengarang: Arleen A
Editor: Dini Novita Sari
Desain Sampul: Iwan Mangopang
Jenis: Novel
ISBN: 978-602-03-0884-5
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2014
Jumlah Halaman: 264++

BLURB

Apa yang akan kaulakukan jika satu menit yang lalu kau anak tunggal orangtuamu, lalu satu menit kemudian ada seseorang yang muncul entah dari mana dan duduk di sampingmu mengaku sebagai adikmu? Apa yang kaulakukan jika kau menemukan foto di meja, menampilkan dirimu dan seseorang yang belum pernah kaulihat? Apa yang kaulakukan jika kau pulang ke rumah dan menemukan bahwa di dalam rumah itu sudah ada dirimu yang lain?

Kehidupan Ally memang bukan kehidupan biasa. Kerap kali ia mendapati dirinya ditempatkan dalam kehidupan yang seolah miliknya, tapi ternyata bukan. Dan tiba-tiba kata “pulang” punya makna yang baru. Apakah Ally akan memiliki kesempatan untuk “pulang”? Akankah ia bisa kembali pada cinta yang ditinggalkannya di kehidupannya yang lain?

Ini bukan kisah biasa. Ini kisah yang akan membuatmu berpikir kembali tentang arti hidup dan arti cinta yang sebenarnya.



***

Bagaimana kira-kira reaksimu jika -- tiba-tiba saja -- karena sebuah rasa seperti sensasi menggelitik ketika kamu kesemutan, kejadian selanjutnya mengubah semua hal yang terjadi padamu? Semua menghilang dan berganti menjadi sebuah episode baru yang sepertinya memang nyata terjadi padamu, tetapi ada yang missed di sana; ada yang bolong di dalam timeline kehidupanmu. Ada missing link yang lenyap dari sungai kehidupanmu dan kamu tidak mampu menerka jawaban atas sesuatu yang "hilang" tersebut.

Begitulah yang dirasakan oleh tokoh utama kita; Ally.

Tiba-tiba saja Ally bisa mengalami kejadian di mana dia seperti terlempar ke dalam sebuah dimensi ruang dan waktu yang berbeda, tetapi dia dan orang-orang yang dia kenal tetap ada. Ally dibawa oleh sesuatu yang kasat mata, sesuatu yang dia tidak tahu itu apa dan semua terjadi di luar kendalinya. Saat ini Ally berada di ruang A dan waktu X, kemudian dalam sekejap mata berubah menjadi Ally berada di ruang A dan waktu Y. Saat ini Ally masih kanak-kanak, tiba-tiba berubah menjadi Ally yang sudah remaja. Di antara rentang waktu itu, misalnya di antara masa kanak-kanak dan masa remaja Ally, seharusnya ada banyak kejadian yang terjadi. Namun sayangnya, tidak ada satupun kejadian dan tokoh-tokoh yang terlibat semasa periode lompatan waktu tersebut yang mampu diingat oleh Ally kehadirannya. Ingatan Ally, benar-benar dibuat bolong.

Pengalaman Ally ini nampak seperti ketika kita memutuskan untuk masuk ke dalam mesin waktu demi mengemban misi tertentu di masa lalu ataupun di masa depan. Tetapi, mungkin juga bukan seperti itu. Bukan pula kejadian seperti yang dilakukan oleh David Rice; menjadi jumper dan bisa berteleportasi ke manapun tempat yang diinginkan. 

Pengalaman Ally terasa membingungkan. 

Ini untuk pertama kalinya saya membaca dua bab pertama dari sebuah buku.

Saya mengenal nama Arleen Amidjaja dari buku-buku anak dan serial Kodi adalah kesukaan saya. Ketika memutuskan untuk menjadi first chapters commentators novel Ally, dan menyadari bahwa ini bukan buku anak, saya tidak berani membuat ekspektasi bahwa kisah Ally akan sebagus kisah-kisah ciptaan Arleen di dalam buku-buku anak karyanya.

Surprisingly, kisah Ally di dua bab pertama ini tetap mampu membuat saya begitu tertarik untuk segera membaca bukunya secara keseluruhan. Awal membaca paragraf pertama di bab satu, saya masih netral. Begitu terus membaca kalimat-kalimat seterusnya, isinya berada di luar dugaan saya.

Bagi saya, dua bab pertama menjadi premise yang cukup menjanjikan -- bahwa kisah Ally kemungkinan bukanlah merupakan kisah yang biasa. Ada kemungkinan bahwa saya akan menyukai kisah Ally, seperti saya menyukai kisah-kisah di dalam buku anak karya Arleen.

Narasi yang dibuat oleh Arleen termasuk smooth, mengalir. Gaya menulisnya tentu sangat berbeda dengan ketika dia menulis buku anak; beda genre, beda sasaran pembaca, tentu saja beda pula dari cara penyampaian dan pemilihan kata. Sejenak, saya seperti tidak sedang membaca tulisan Arleen. Setiap mendengar nama Arleen, saya pasti akan mengasosiasikannya dengan penulis buku anak. Hal ini dikarenakan saya tidak pernah membaca buku Arleen selain buku-buku anak yang menjadi karyanya, sementara image Arleen sebagai penulis buku anak begitu melekat di dalam otak saya. Jadi, ketika saya merasa bahwa saya seperti tidak sedang membaca tulisan buku Arleen, bermakna bahwa dalam hal ini Arleen berhasil membedakan peran sebagai penulis buku anak dan penulis buku dewasa.

Dua bab pertama kisah Ally membuat saya segera membayangkan banyak hal. Apa yang sebenarnya terjadi pada Ally?

Baca bagian ini...
"... Ketika psikiater yang satu itu tidak dapat memberikan penjelasan apa-apa, Mama membawaku ke psikiater yang lain. Ketika ia juga tidak punya jawaban, ia memintaku melakukan beberapa tes dan scan atas otakku. Setelahnya, ia juga tetap tidak punya jawaban. Dan setelah beberapa psikiater, dokter saraf, tes-tes lainnya yang semuanya tanpa hasil, orangtuaku akhirnya memutuskan untuk tidak lagi mengirimku ke mana-mana karena itu hanyalah pemborosan uang. Mereka memutuskan untuk menerima kejadian itu. Mereka menerima kenyatakan bahwa aku sama sekali tidak punya ingatan tentang..." (p. 11)

Bagian ini menjadi petunjuk bahwa ada kemungkinan masalah yang dialami oleh Ally. Jika rujukannya adalah seorang Psikiater, di mana Psikiater adalah seorang Dokter, maka aumsinya adalah masalah Ally bukanlah masalah psikologis yang cukup ditangani oleh seorang Psikolog saja, melainkan butuh penanganan medis dan treatment obat-obatan juga.

Apakah Ally dianggap menderita mental illness/mental disorder tertentu? Karena saya sedang menikmati drama Korea yang berjudul Kill Me, Heal Me; di mana tokoh utamanya menderita Dissosiative Identity Disorder (DID) atau sebelumnya dikenal dengan sebutan Split Personality atau Multiple Personality, saya jadi membayangkan mungkin Ally menderita DID.

Berdasarkan standar DSM (Diagnostic and Statistical Manual) of Mental Disorder V, istilah "identity" lebih tepat digunakan karena merujuk pada kemunculan identitas lain di dalam diri penderitanya, bukan sekadar muncul kepribadian lain. Jumlah identitas lain yang muncul ini mungkin saja ada satu, bahkan mungkin juga ada banyak. Ketika episode kemunculan identitas lain "menguasai" diri penderita, maka apapun yang terjadi selama episode ini tidak akan mampu diingat kejadiannya oleh penderita sebagai pemilik identitas asli. Pemilik identitas asli bisa saja mengenali identitas-identitas lain di dalam dirinya, bisa juga tidak.

Jika merujuk pada dua bab pertama dalam novel Ally, apakah mungkin dia mengalami DID? Dugaan saya, tidak.

Memory loss yang dialami oleh Ally terlalu spesifik pada satu hal saja, terkait keberadaan seseorang. Sementara, memory loss yang dialami oleh penderita DID seharusnya begitu luas, mencakup segala aspek kehidupan yang pernah dijalani ketika alter identity mengambil alih posisi, sehingga jenis kehilangan ingatan ini tidak mungkin dianggap sebagai proses lupa biasa -- apalagi, jika hanya dianggap sebagai "lupa" dengan bagaimana seseorang mulai hadir atau menghilang di dalam kehidupan kita.

Jika dikaitkan dengan memory loss lagi, apakah Ally mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh Lucy di dalam film Fifty First Dates? Short-term memory loss? Selective amnesia? Systematized amnesia? Atau, apa?

Lagi-lagi... Rasanya terlalu dini untuk membuat dugaan seperti ini, banyak hal yang terlalu janggal juga untuk segera menyimpulkan bahwa Ally mengalami amnesia. Beberapa hal membuat saya merasa ada sesuatu yang "lebih", yang membuat saya merasa bahwa konsep amnesia ini terlalu mudah untuk ditebak, sehingga saya merasa bahwa Arleen ingin bercerita "lebih" pula dari pada yang telah disampaikan di dalam dua bab pertamanya.

Entahlah.
I'm not so sure.

Entah juga jika ternyata ada penjelasan lain yang menguatkan perkiraan DID atau dugaan amnesia di dalam bab-bab selanjutnya.

Saya merasa bahwa ada lebih banyak lagi yang ingin dikisahkan oleh Arleen atas beberapa dasar. Pertama, dari konsep cover tersirat banyak hal dan sangat multi-tafsir. Jika diperhatikan, ada tiga tafsiran mengenai dimensi ruang dan waktu di sana, seolah ada sebuah "perjalanan" yang sedang dilakukan oleh tokoh perempuan di dalam cover tersebut; yang kita asumsikan sebagai Ally. Kedua, ada poin-poin yang membuat saya berpikir ke arah konsep 1, kemudian muncul poin-poin lain yang menjadikan saya membuat konsep 2. Misalnya, seperti yang saya sebutkan di atas tadi, awalnya saya berpikir bahwa Ally seperti sedang menjalani perjalanan melintasi waktu, namun kemudian saya menduga bahwa Ally sepertinya mengalami DID atau mungin juga amnesia. Begitu selesai membaca bab ke-dua, saya tidak yakin dengan dua konsep tersebut. Saya menduga ada hal lain, dan hal ini belum berhasil saya pecahkan misterinya. Ketiga, coba baca kembali tagline yang berbunyi "All These Lives" di dalam cover. Sepertinya tagline tersebut merujuk ke dalam sebuah makna tertentu. Entah apa makna tersebut. Kehidupan seperti apa yang dimaksud? Lagi-lagi, bagi saya ini sebuah misteri yang belum terjawab. Setidaknya, ketiga hal ini yang membuat saya percaya benar, Arleen bukan sekadar ingin bercerita tentang romance -- seperti kategori buku yang dicantumkan oleh Gramedia Pustaka Utama di dalam website mereka untuk novel Ally.

Banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepala saya. Bukan saja tentang apa yang dialami oleh Ally dan segala tebakan asal-asalan dengan mengaitkan kisah Ally dari dua bab pertama ini ke dalam segala jenis buku yang pernah saya baca serta film yang pernah saya tonton. Dalam hal ini, saya bisa katakan bahwa Arleen membuat saya penasaran setengah hidup. Artinya, Arleen berhasil menguntai narasi yang membuat pembacanya mau untuk membuka halaman-halaman lain dari buku ini hingga selesai, termasuk untuk memecahkan dugaan mengenai genre apa yang diusung oleh Arleen di dalam novel Ally. 

Selain itu, coba lihat ini. Pernyataan dari pihak Gramedia Pustaka Utama terkait blurb novel Ally.

Pernyataan ini (versi lebih lengkap ada di dalam blurb di awal tadi) ditambah dengan kisah Ally di dalam keluarganya, yang membuat saya percaya bahwa novel Ally bukan hanya menjual kisah percintaan yang mainstream melainkan menawarkan kisah yang lebih dalam mengenai makna dari cinta itu sendiri.

Kemudian, coba baca ini, kalimat pengantar dari Arleen.
This book is dedicated to all life lovers out there. I know how you appreciate all important things in life. I know how you never take them for granted and how you hold on to them as if they can be taken away from you at any time. I know how you feel. I'm one of you and sadly speaking, yes, they can be taken away from you at any time. And to Alyssa. My universe is so bright because you're in it. And if there is ever brighter parallel universe out there that doesn't have you in it, believe me, I will never want to go there.

Membaca kata pengantar tersebut membuat saya semakin percaya bahwa Arleen menyuguhkan sebuah konsep mengenai kehidupan dan kematian, serta hal-hal lainnya terkait kedua hal tersebut. Life, death, and everything in between. Bahkan menjadi sedikit petunjuk bahwa ada kemungkinan mengajak kita menelusuri dunia paralel. Wow. Wormhole, time machine, time traveling, dan segala teorinya adalah salah satu pembahasan yang saya sukai. Rasanya cukup masuk akal untuk memasukkan kemungkinan ini karena ketika kita melakukan perjalanan melintasi ruang dan waktu ke masa lalu maupun masa depan, maka pasti ada ingatan kita yang akan ikut terlompat. Artinya, sangat mungkin jika Ally tidak memiliki ingatan akan kejadian tertentu karena periode ketika kejadian tersebut eksis, periode itu dilompati oleh Ally.

Setelah rasa penasaran tadi, ditambah dengan kemungkinan isu dunia paralel -- multiverse, tentu saya akan semakin senang hati membaca kisah Ally hingga tuntas. Apapun itu, saya penasaran. Inilah intinya.

Menurut saya, dua bab pertama dari novel Ally selayaknya sebuah memoar kehidupan. Mengajak kita untuk melakukan "ziarah" terhadap hal-hal yang pernah terjadi di masa lalu dalam upaya untuk mencari jejak-jejak yang sempat menghilang. Bukan sekadar mengajak gegalauan seperti kebanyakan novel romance. Ini seperti ketika kita sedang berkontemplasi, melakukan perenungan mendalam terhadap kejadian-kejadian yang pernah kita alami dan mencoba melengkapi kepingan-kepingan puzzle supaya terangkai utuh, sehingga kita mendapatkan jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Penasaran? Tentu saja, saya penasaran. Kemungkinannya, kamu pun akan penasaran.

Terakhir, coba baca kalimat terakhir di dalam bab ke-dua ini.
"... Ia tidak akan pernah masuk dari pintu itu lagi karena seperti yang kutakutkan, kali ini Saat Ketidakberadaanku telah mengambilnya dariku." (p. 17)

"Saat Ketidakberadaanku" terdengar begitu filosofis dan sekali lagi, bagi saya, begitu multi-tafsir. Sebenarnya, apa maksud "Saat Ketidakberadaan" ini? Saya masih yakin bahwa istilah ini bukan sekadar merujuk kepada masa-masa ketika Ally tidak mampu mengingat sebuah peristiwa akibat melompati periode eksistensi dari peristiwa tersebut.

Saya belum memberikan rating untuk buku ini secara keseluruhan karena memang saya belum selesai membacanya. Untuk dua bab pertama, saya beri nilai 5/5. Mengapa? Jawabannya sederhana saja; isi dari dua bab pertama benar-benar di luar dugaan saya.

Dua bab pertama di dalam kisah Ally membuat saya terombang-ambing di dalam spektrum warna, seperti yang dirasakan Ally ketika proses lompatan sungai kehidupannya terjadi; kebingungan untuk mempercayai bahwa benar, ini adalah buku ber-genre romance a la mainstream karena baru berpatokan pada kategori dari Gramedia Pustaka Utama. Tetapi ketika berada di setengah dari dari bab pertama, saya langsung berubah haluan ke genre romance yang bukan yang mainstream. Kemudian di pertengahan bab pertama dilempar ke genre science fiction dengan segala perkiraan mengenai time traveling - parallel universe tadi, mungkin juga menjadi genre psychological drama ketika muncul dugaan mengenai gejala mental illness/mental disorder yang dihadapi oleh Ally. Tidak lama dilempar kembali ke arah genre thriller, psychological thriller, dan bahkan horror saat menebak bahwa ada kisah lain dan nilai lebih yang ingin disampaikan oleh Arleen melalui kisah Ally begitu diantar ke bab ke-dua, serta dilempar lagi dan lagi ke dalam genre sastra atau filsafat karena kalimat filosofis di akhir bab ke-dua (halaman 17).

Bingung?
Sama. Saya juga bingung.

Ayo kita baca bukunya supaya tidak bingung lagi!

\(^o^)/

Have a blessed day!