expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Saturday 10 January 2015

Remember Paris by Icha Ayu

Serupa dengan Under the Southern Stars yang saya dapatkan dari hasil memenangkan sebuah giveaway, Remember Paris juga saya dapatkan hasil memenangkan giveaway di akun @rannyrainy pada bulan September 2013. 

Untuk bisa menamatkan Remember Paris benar-benar butuh perjuangan. Kenapa? Yuk ah diintip kakak review saya di bawah ini... :3

***

Remember Paris by Icha Ayu
[Edited: 14/01/15]

Judul: Remember Paris
Pengarang: Icha Ayu
Jenis: Young Adult Literature, Chicklit, Metropop
ISBN: 978-602-7572-31-7
Penerbit: Stiletto Book
Tahun Terbit: 2014
Jumlah Halaman: 261++


BLURB

Perpisahan Kirana dari Manu membuatnya kembali teringat akan hari-hari yang mereka lalui ketika masih mengikuti short course program di Jenewa-Swiss. Semuanya sempurna: kehidupannya bersama host family, keseruan bersama para sahabatnya, dan tentu saja, kebersamaannya dengan Manu, lelaki Prancis yang menjadi kekasihnya.

Empat tahun, bukan waktu yang singkat untuk bisa melupakan seseorang. Takdir pun seolah masih berpihak pada hubungan mereka. Saat Kirana ditugaskan ke Paris untuk meliput berita, kenangannya bersama Manu kembali muncul. Kiranan tak tahu apa yang harus dilakukan, yang dia tahu, Paris tidak lagi sama seperti ketika dia meninggalkan kota itu.

"Don't leave me alone again and I promis that I'll never let you go!" janji Manu ketika akhirnya menemui Kirana di Trocadero, di malam terakhir kunjungan Kirana ke Paris. Apa yang terjadi setelahnya? Mungkinkah satu cinta yang mereka miliki dapat menghapus 11.369 perbedaan yang ada?


***

Well...

Waktu pertama kali menerima buku ini dan membaca blurb-nya, saya amat sangat yakin kalau isinya akan berkutat dengan isu malas move on. Entah kenapa, saya sering semakin alergi dengan isu-isu sejenis ini. Apalagi saya semakin sering pula menemukan orang-orang sejenis ini di sekitar saya.

Tetapi, luar biasa, bukan isu malas move on yang membuat saya paling malas dalam menyelesaikan Remember Paris.

Lalu, apa?

Setidaknya, sampai 18 halaman pertama saya masih mampu bertahan. Ada "sisa" emosi dari kisah Kirana dan Manu yang dinarasikan dari sudut pandang Kirana, ketika mereka akhirnya memutuskan berpisah. Silakan membaca Distance (judul lama adalah Winter to Summer) untuk memperoleh gambaran lebih detail tentang awal pertemuan hingga perpisahan yang terjadi antara Kirana dan Manu. Kondisi Kirana yang galau dijelaskan dengan cukup baik, bagaimana sahabatnya (Isti) dalam membantu Kirana yang sedang down juga terasa real. Hanya saja, begitu mulai mencampurkan flashback ini dan itu, bercampur dengan kondisi pasca perpisahan... hmm... saya mulai merasakan bahwa Icha menggambarkan narasinya dengan datar.

Saya merasa seperti sedang didikte. Tahu bagaimana rasanya seorang guru mendiktekan muridnya? Kira-kira seperti itulah yang saya alami.

Ada lagi gambaran klise. Iya, bagi saya sangat klise karena saya memang tidak suka dengan hal-hal yang berbau malas-move-on-tapi-sok-meyakinkan-orang-bahwa-sudah-move-on. Inilah yang membuat saya berpikir nganu saat membaca bagian ketika Kirana mulai move on (karena desakan temannya!) dengan alasan terpengaruh pernyataan Isti...
... cara terbaik untuk melupakan cinta adalah dengan mencoba kembali jatuh cinta.

Ngg...
Dari sini, saya langsung yakin bahwa hal yang kemudian akan terjadi bukanlah move on

Dan sejak itu pula saya semakin kehilangan semangat untuk menyelesaikan Remember Paris. Alurnya terlalu mudah untuk ditebak. Berminggu-minggu, saya memilih untuk tidak membaca buku ini. Sebelum, akhirnya, sekarang... Saya memilih segera menyelesaikannya.

Datar dan alur yang terlalu mudah ditebak bukan kombinasi unik untuk bisa menyelesaikan sebuah buku dengan semangat. Jika saja, alur yang mudah ditebak ditemani dengan penulisan narasi yang tidak datar, saya masih mau menyelesaikan buku-buku jenis ini dengan cepat dan semangat.

Bahkan, ketika mendeskripsikan email-email antara Kirana dan Manu, Kirana dan teman-temannya, termasuk ketika Manu dan Papa Kirana saling mengirimkan email juga terasa... datar. Padahal seharusnya, bagi saya, untuk scene seperti ketika Papa dan Manu saling berkirim email adalah momen di mana situasi emosional banyak digali. Selain itu, ketika Manu dan Kirana saling bertukar kabar melalui aplikasi instant messenger, saya juga seperti membaca dialog yang kurang bernyawa.

Saya greget sendiri dibuatnya.

Mungkin, nilai jual dari novel ini lebih kepada pesona dari kata "Paris" dan "Prancis". Berhubung saya sudah lumayan banyak mendengar kisah dengan latar belakang Paris dan Prancis, baik dari buku-buku fiksi/non fiksi dan juga dari cerita teman-teman yang sudah duluan ke sana dalam rangka kuliah maupun berlibur, bagi saya Remember Paris bisa dibilang tidak begitu menjual pesona Paris dan Prancis.

Deskripsi tempat dan makanan, oke lah, tolerable. Saya menghargai cara Icha dalam menyampaikan deskripsi terkait tempat maupun makanan tersebut. Paris/Prancis juga tidak melulu tentang Menara Eiffel, Icha memasukkan tempat-tempat lain yang meyakinkan saya bahwa dia memang melakukan riset (langsung/tidak langsung) terhadap tempat-tempat dan makanan tersebut. Favorit saya ketika dia menceritakan tentang crepe lewat percakapan antara Kirana dan Manu.

p. 71

Lihat gambar crepe yang diselipkan di dalam percakapan di atas? Icha memasukkan beberapa foto seperti itu ketika menjelaskan tentang sebuah tempat atau makanan. Gambarnya kecil, tetapi lumayan untuk membantu pembaca yang tidak tahu ketika membayangkan tempat atau makanan seperti apa yang sedang dideskripsikan oleh Icha. Di bagian akhir buku, Icha juga memasukkan daftar sumber gambar. Menurut saya, ini menjadi salah satu poin yang patut dihargai dari usaha Icha.

Bagaimana dengan bahasa yang digunakan?

Icha menggunakan bahasa Indonesia di sebagian besar narasi dan dialog-dialog antar tokoh. Ada juga penggunaan bahasa Inggris, dan lebih sedikit penggunaan bahasa Prancis. Bagi saya, ini tidak menjadi masalah.


Overal 3/5


Have a blessed day!