expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Monday 29 September 2014

Lapak-lapak Buku di Stasiun UI dan Segala Kenangannya

7,5 tahun saya fulltime hidup di antara UI dan kos Depok. Agak sedikit rumit kelayapannya, halah, karena sebenarnya bolak-balik antara Bandar Lampung - Jakarta - Depok selama 9 tahun lebih tepatnya. Tetapi, kalau dihitung perkiraan total waktu saya hidup fulltime di Depok ya sekitar 7,5 tahun itu.

Berawal dari kedatangan saya ke Depok sebagai anak culun yang untuk pertama kalinya harus tinggal jauh dari rumah, sementara saya saat itu adalah tipikal anak rumahan yang jarang sekali berani untuk keluar rumah sendiri kecuali ke sekolah, semua demi masa depan. Pret, hahaha. Siapa yang menolak untuk kuliah di kampus kece di Depok sih? Itupun modal "iseng" karena tujuan utama saya sejak awal masuk SMP adalah kampus Jogja, apa daya tiba-tiba dilarang, dan setelah ngambek selama sebulan akhirnya saya diperbolehkan untuk kuliah di luar Bandar Lampung asalkan saya ke Jakarta. Ya sudah, saya daftar masuk kampus Depok, ternyata diterima dan ternyata (lagi!) itu bukan di Jakarta melainkan di Selatan Jakarta alias Jakarta coret Depok alias Jawa Barat, hahaha. Yes! Bagi saya yang terpenting saat itu adalah akhirnya saya berhasil juga keluar dari rumah dan bisa bebas melakukan aktivitas apapun yang saya suka. HAHAHAHA... (tolong jangan di-cc ke orang tua saya, oke? Tjakeps!). Tidak masalah kalau saya tidak berhasil ke kampus Jogja, toh kampus "pengganti"-nya adalah kampus yang bagi saya lebih baik. 

Begitu lulus empat tahun kemudian, saya fulltime di Jakarta selama 1,5 tahun sebelum saya kembali ke Depok (bahkan ke kos yang sama) untuk belajar demi persiapan melanjutkan kuliah. Kemudian saya diterima, tetapi saya memilih "putus" dari kampus setelah 3,5 tahun kembali ke Depok karena ada alasan personal yang lebih mendesak untuk diselesaikan. 

Seperti itulah gambaran singkat perjalanan hidup saya selama di Depok, sebuah kota kecil super panas dan macet yang akan selamanya memiliki arti sangat signifikan di dalam hidup saya. Walaupun sekarang saya semakin "murtad" dari identitas asli Bandar Lampung, kemudian "murtad" pula dari Depok, bahkan "murtad" juga dari kota KTP Jakarta... selamanya tiga tempat ini menjadi "kota halaman" saya. 

Bandung, ngg, sense of belonging saya di kota ini tidak begitu kuat hahaha. Satu-satunya yang membuat saya "betah" di sini ya karena akhirnya menemukan beberapa tempat untuk menggali harta karun berupa buku-buku incaran. Dibandingkan Bandar Lampung, jelas Bandung lebih "menang" untuk hal ini. Tetapi, dibandingkan dengan Depok dan Jakarta, tentu saja, Bandung jauh lebih cupu apabila sudah terkait buku -- terutama texbook Psikologi hih emosi jiwa kalau ingat betapa murka saat saya mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses buku fisik textbook Psikologi dan ujung-ujungnya saya harus membeli di Spektra Mall Taman Anggrek di Jakarta atau ke Spektra Psikologi UI atau ya "kembali" ke perpustakaan Psikologi UI untuk *uhuk* meng-copy koleksi di sana yang bukunya sudah sulit untuk ditemukan di Indonesia.

Nah, kembali ke Depok...

Hidup di seputaran kampus dan tinggal ngesot sampai untuk ke Stasiun UI dari area Fakultas Psikologi UI, tentunya menjadi ikrib dengan lapak-lapak buku di seputaran stasiun adalah sebuah keniscayaan, hahaha. Beberapa buku penunjang kuliah saya dapatkan di sana, walaupun hanya sedikit, karena lebih baik saya meng-copy buku daripada membeli buku bajakannya. Hasil fotokopi buku di tempat-tempat fotokopi yang ada di Depok (apalagi kalau fotokopi di Cano) jauuuuh lebih baik daripada kualitas buku bajakan yang tulisannya disenggol dikit bisa hilang itu, hahaha. 

Seingat saya, buku paling memorable yang saya temukan di sana adalah buku milik Psikolog pertama lulusan UI (setelah Psikologi resmi terpisah dari Fakultas Kedokteran dan menjadi Fakultas tersendiri) serta pernah menjadi Menteri Pendidikan di tahun 1980an dan sangat ganteng kharismatik bagi saya, yaitu Kita dan Kami karya Fuad Hassan. Saya beruntung karena pernah bertemu beliau selama beberapa kali di kampus sebelum beliau meninggal di akhir tahun 2007 yang lalu. Buku Kita dan Kami milik saya, yang digunakan sebagai buku penunjang kuliah Filsafat (terutama untuk materi Eksistensialisme), merupakan buku terbitan Pustaka Jaya di zaman baheula dulu. Saat saya mengadopsinya dari salah satu lapak di Stasiun UI, saya hanya merogoh kocek sebesar goceng saja! Iya, benar, buku berharga ini hanya dijual Rp. 5.000,00.

Subhanallooooh...

Siapa yang menolak untuk mengadopsi buku karya Fuad Hassan dengan harga segitu doang?!

Ini bukunya Fuad Hassan omaygawd! Tokoh yang karyanya saya kenal pertama kali lewat buku Menapak Jejak Khalil Gibran jauh sebelum saya masuk kuliah dan se-almamater dengan beliau. Buku Kita dan Kami sudah dicetak ulang dan sekarang dijual sekitar Rp. 50.000,00.

Itulah salah satu perkenalan saya dengan lapak-lapak buku di stasiun UI, serta dengan beberapa buku non-textbook yang saya adopsi dari sana juga sepanjang saya hidup di Depok. Makanya saya sempat sedih dan ikut drama-ria ketika mendengar berita tentang sterilisasi Stasiun UI dengan segala jualannya. Ah, padahal ada banyak sekali lapak-lapak memorable di sana dulu. Bukan hanya lapak buku. Untungnya, dengan konsep yang lebih rapi, beberapa lapak lama tetap ada di sana dengan menempati kios-kios baru di sekitar stasiun UI. Meskipun tidak semuanya. 

Hari ini, pagi-siang sore tadi saya mampir ke sana untuk sedikit nostalgia. Mumpung saya ada di Depok setelah marathon kondangan hari Minggu kemarin. Saya sengaja memilih untuk tidak mampir ke kampus, mengkhususkan diri untuk berjalan menyusuri kios-kios untuk berburu buku dan makan bakso langganan, hahaha. Dan hasilnya, tidak sia-sia.

Sudah siap menghadapi betapa pamernya saya kali ini? As usual as always... Kalian siap saja-lah ya... \(^o^)/



Itu dia hasil perburuan buku saya hari ini, hahaha. Murah dong, tentu. Harga per buku sekitar Rp. 10.000,00 - 25.000,00 saja kok dan bukan saya dapatkan dari satu lapak buku saja, melainkan dari beberapa lapak yang ada di sana. Sebagian besar buku berbahasa Indonesia, pastinya, karena merupakan karya penulis lokal. Hanya buku James Herriot yang berbahasa Inggris dan merupakan buku bekas, lainnya merupakan buku bersegel yang ketika difoto sudah saya lepas segelnya. Selain buku James Herriot dan Amy Tan, semua buku lainnya pernah saya baca dengan bermodal pinjam di perpustakaan SD-SMA (buku-buku Balai Pustaka dan Bulan Bintang; Armjn Pane, Tulis St. Sati, Idrus, Abdoel Moeis, Achdiat K. Mihardja, dan Hamka) atau bermodal pinjam punya orang lain (Arafat Nur, Moammar Emka, Zara Zettira, dan Waris Dirie) atau pernah punya tetapi hilang (Leo Tolstoy).

Pasti kalian akan bertanya, apakah semua buku yang saya temukan di lapak-lapak buku Stasiun UI tersebut merupakan buku asli atau bukan? 

Terus terang, saya tidak begitu menguasai perbedaan buku asli dan KW. Satu-satunya yang saya yakin merupakan buku asli adalah buku karya James Herriot, hahaha, simply because bukunya merupakan buku bekas dan saya tidak pernah menemukan buku berbahasa Inggris yang bajakan selain textbook. Kalau selain buku-buku fiksi ex-import, ya wallahualam saja itu buku asli atau palsu kalau bukan di beli di toko-toko buku besar.

Sedihnya, kios Cak Tarno semakin menciut saja. Padahal dulu, kios ini merupakan "kios wajib" yang harus dikunjungi kalau ingin menemukan buku-buku berkualitas tinggi. Kiosnya pun sering dijadikan tempat berdiskusi atau sekadar mengobrol. Saya sempat minder untuk mampir melihat-lihat koleksi di sini, terutama di tahun pertama saya berkuliah dulu, karena saya merasa ciut kalau melihat betapa kerennya koleksi buku di sana. Apalagi saya merasa bahwa bacaan saya apa sih kalau dibandingkan dengan koleksi bacaan di sana? Auranya sangat berbeda dibandingkan dengan ketika saya mampir ke lapak-lapak lain yang kalau bukan didominasi oleh textbook bajakan, buku fiksi bajakan, atau ya didominasi oleh komik. Sekarang, koleksi bukunya ikut pula menciut seiring dengan menciutnya kios Cak Tarno, serta rak-rak bukunya semakin terlihat terpojokkan karena tertutupi oleh gerobak yang melayani pembelian minuman. Kios atau toko buku kecil yang "idealis" ini perlahan tergerus. Saya tidak begitu paham mengapa kios Cak Tarno harus menjadi seperti sekarang. Tetapi sepertinya popularitas kios Cak Tarno tidak memudar. Buktinya tadi, saya sempat ditanyai oleh seseorang yang tidak saya kenal (laki-laki, dewasa tentunya) yang menanyakan lokasi kios Cak Tarno.

Kebahagiaan saya selama dua hari ini -- yang terkait buku -- luar biasa juga, hahaha. Kemarin saya baru dapat kabar bahwa saya menang giveaway berhadiah buku yang diadakan oleh Mbak Ranny, pagi tadi mendapat kabar bahwa saya menang giveaway berhadiah buku yang diadakan oleh Dwi khusus untuk anggota grup Whatsapp KBI #1, dan malam hari begitu kembali ke Bandung menemukan paket berisi buku Jostein Gaarder yang Misteri Soliter dari hasil sebagai peserta #LBBKSeptember (dan kalah, hiks!).



Kalau sudah rezeki mah buku-buku gratis memang akan datang dengan sendirinya ke kita, hahaha. Kalau begini kan saya akan semakin semangat dan NIA(t) untuk mencoba mengikuti giveaway. Sejujurnya, saya jarang mengikuti giveaway yang diadakan di luar grup komunitas buku yang saya ikuti (KBI dan L), selebihnya buku gratis saya dapatkan dengan gratis tanpa susah-susah mengikuti kuis, yang diadakan di grup pun jarang saya ikuti, hahaha sombooooong.

Ngg... kalau dihitung, kira-kira baru enam kali kuis yang diadakan secara terbuka di media sosial yang saya ikuti:
  1. #KuisNVO berhadiah edisi terbaru Negeri van Oranje yang diadakan oleh akun twitter NVO. Ini kuis berhadiah buku pertama yang saya ikuti melalui media sosial dan sangat niat mengikutinya karena buku NVO cetakan pertama dengan cover lama milik saya hilang. Ditambah lagi, pertanyaannya merupakan hal yang mudah dijawab karena hanya menjawab nama festival yang saya tahu dari dulu namanya, media partner NVO, serta menjawab proses "metamorfosis" NVO. Eh, ternyata menang.
  2. Lomba blogging tentang Sekolah Impian yang diadakan oleh Bu Murtiyarini dan sekarang masih menunggu pengumuman pemenangnya bulan depan. Jangan lupa untuk share pendapat kalian terkait tulisan saya tentang Sekolah Impian di sini dan di sini ya ^^
  3. Lomba mendapatkan buku Tarot dari Penerbit BIP dan Gramedia beberapa hari yang lalu. Ini super iseng karena saya tidak pernah mau "terlibat" di dalam kuis berjenis flooding my timeline bahkan beresiko spamming luar biasa. Hasil akhirnya, saya bersumpah tidak akan sudi lagi mengikuti kuis bertema serupa karena berpotensi membuat saya migraine hahaha. Saya tidak peduli menang/kalah, saya lebih peduli terhadap kemungkinan mengalami migraine karena memikirkan harus mention siapa lagi. Lagipula, benar-benar spamming banget kuis sejenis ini hih. 
  4. Lomba berhadiah buku Dastan yang diadakan oleh Lia. Sepertinya belum pengumuman. Ini juga saya ikuti dengan coba-coba karena belum pernah mengikuti lomba yang menggunakan sistem Rafflecopter. Iya, alasan yang menang aneh, hahaha.
  5. Lomba blog toko online yang diadakan oleh Redcarra dan kalah! Hahahaha.
  6. Lomba yang diadakan oleh Mbak Ranny, yang juga iseng saya lakukan, karena pertanyaannya seputar tempat yang ingin dikunjungi kalau ke Prancis dan kebetulan saya memiliki beberapa daftar "tempat wajib" yang ingin saya jamah di sana hahaha. Apalagi tempat yang menjadi destinasi utama saya, kalau bukan tempat-tempat berburu buku. Ternyata, tidak sia-sia saya berkomentar di di blog tersebut dengan "pamer" ini dan itu, dan kemudian dinyatakan menang!

Dudududu~

Have a blessed day!