expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Tuesday 10 February 2015

Kumpulan Budak Setan by Eka Kurniawan, Intan Paramadhita, Ugoran Prasad

Kumpulan Budak Setan

Judul: Kumpulan Budak Setan
Pengarang: Eka Kurniawan, Intan Paramadhita, Ugoran Prasad,
Jenis: Kumpulan Cerita Pendek, Horor
ISBN: 978-979-22-5475-4
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2010 (Setakan Pertama)
Jumlah Halaman: 174++


BLURB

Kumpulan Budak Setan, kompilasi cerita horor Eka Kurniawan, Intan Paramadhita, dan Ugoran Prasad, adalah proyek membaca ulang karya-karya Abdullah Harahap, penulis horor populer yang produktif di era 1970-1980-an. Dua belas cerpen di dalamnya mengolah tema-tema khas Abdullah Harahap -- balas dendam, seks, pembunuhan -- serta motif-motif berupa setan, arwah penasaran, obyek gaib (jimat, topeng, susuk), dan manusia jadi-jadian.

Kupejamkan kembali mataku dan kubayangkan apa yang dilakukannya di balik punggungku. Mungkin ia berbaring telentang? Mungkin ia sedang memandangiku. Akhirnya aku berbisik pelan, hingga kupingku pun nyaris tak mendengar:
"Ina Mia?"
("Riwayat Kesendirian", Eka Kurniawan)

Jilbabnya putih kusam, membingkai wajahnya yang tertutup bedak putih murahan -- lebih mirip terigu menggumpal tersapu air -- dan gincu merah tak rata serupa darah yang baru dihapus. Orang kampung tak yakin apakah mereka sedang melihat bibir yang tersenyum atau meringis kesakitan.
("Goyang Penasaran", Intan Paramaditha)

"Duluan mana ayam atau telur," gumam Moko pelan. Intonasinya datar sehingga kalimat itu tak menjadi kalimat tanya. Laki-laki yang ia cekal tak tahu harus bilang apa, tengadah dan menatap ngeri pada pisau berkilat di tangannya. Moko tak menunggu laki-laki itu bersuara, menancapkan pisaunya cepat ke arah leher mangsanya. Sekali. Sekali lagi. Lagi.
Darah di mana-mana.
("Hidung Iblis", Ugoran Prasad) 

***

Membaca bagian pengantar sebuah buku, baik fiksi maupun non fiksi, memberikan kesenangan tersendiri bagi saya. Sama halnya ketika membaca bagian pengantar dari buku Kumpulan Budak Setan. Saya tidak tahu siapa yang lebih dominan dalam menuliskan bagian pengantar di buku ini, entah Eka Kurniawan, entah Intan Paramaditha, atau Ugaran Prasad. Yang jelas, saya sampai membaca bagian pengantar hingga berkali-kali sebelum memulai membaca keseluruhan isi buku, tidak lain karena saya begitu menyukai kata demi kata yang dituturkan lewat sebuah kata pengantar; Para Budak yang Penasaran. Isinya begitu manis, jauh lebih "manis" dibandingkan dengan 12 cerita horor yang ditawarkan oleh ketiga penutur.

Saya membayangkan sebuah aktivitas mendongeng, di mana Para Budak yang Penasaran sedang dipentaskan di dalam aktivitas tersebut. Alih-alih langsung membuka aktivitas dengan menjejalkan 12 dongeng yang sudah dipersiapkan, para pendongeng justru membuai penontonnya dengan memberikan dongeng lain yang bercerita mengenai bagaimana 12 dongeng bisa terbentuk. Menariknya, penonton -- well, saya -- sangat menyukai dongeng tentang proses membuat 12 dongeng tersebut, melebihi kesukaan saya terhadap salah satu (atau keseluruhan) dari 12 dongeng yang sebenarnya menjadi "jualan" utama yang lebih banyak digembar-gemborkan.
Kisah perbudakan ini diawali di tahun 2008, ketika kami saling membagi ketertarikan atas karya-karya Abdullah Harahap. Kami pun sepakat melakukan pembacaan ulang terhadap Abdullah Harahap dan memulai proyek menulis sebuah kumpulan cerita horor. Reaksi teman-teman yang mendengar tentang proyek ini cukup beragam. Sebagian besar mengernyitkan dahi dan mengajukan pertanyaan seperti "Siapakah Abdullah Harahap?" atau "Mengapa Abdullah Harahap?" Pertanyaan-pertanyaan semacam ini membuat kami curiga: barangkali pembaca sastra Indonesia memang bukan pembaca Abdullah Harahap. Tapi, kami tetap penasaran. Lebih buruk lagi, kami adalah budak. (p. x)
Bacalah bagian pengantar buku ini jika kalian benar-benar penasaran dengan alasan ketiga penulis memilih membaca ulang buku-buku Abdullah Harahap. Jika kalian belum kenal dengan Abdullah Harahap, maka bacalah bagian pengantar buku ini, dan kalian akan menemukan siapa itu Abdullah Harahap dan alasan di balik label "picisan" yang melekat di semua karya-karyanya. Masih penasaran juga? Pergilah ke bookfair Gramedia terdekat dan temukan obralan buku-buku Abdullah Harahap cetakan terbaru -- jika dibandingkan dengan cetakan-cetakan lama yang banyak saya temui ketika masih SD-SMA dulu -- yang dibanderol dengan harga paling mahal ceban.

Pengalaman dengan kegairahan seperti ini saat membaca bagian pengantar mengingatkan saya pada proses membaca kumpulan cerita pendek lainnya, yaitu Kembang Kertas karya Kurniasih. Bedanya adalah, membaca bagian pengantar di Kembang Kertas karya Kurniasih membuat saya memiliki ekspektasi lebih terhadap "jualan" metafora yang banyak "dipamerkan" oleh para penutur ketika membantu "menjual" isi buku tersebut, dan saya berakhir kecewa. Sementara ketika membaca pengantar Para Budak yang Penasaran, saya merasa bahwa para penutur terasa lebih humble; tidak mencoba menjual ekspektasi berlebih, melainkan lebih mengajak kita saya untuk menelaah lebih jauh tentang proses kreatif yang mereka jalani, dengan segala keterbatasan yang mereka miliki saat itu, demi mewujudkan proyek ini.
Salah satu tantangan yang muncul dalam proyek ini adalah terbatasnya penelitian yang pernah dilakukan atas Abdullah Harahap. Sebuah sumber penting adalah buku Unsur Erotisme dalam Novel Indonesia 1960-1970-an oleh S. R. H. Sitanggang, Suyono Suyatno, dan Joko Adi Sasmito, yang melakukan pembacaan tekstual atas beberapa novel populer, termasuk karya Abdullah Harahap dan Motinggo Boesye. (p. xvi
Pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan tak punya solusi ringkas, tetapi membutuhkan serangkaian eksplorasi atas horor di Indonesia, dan kami melihat proyek kami sebagai bagian kecil dari rangkaian tersebut. (p. xvii)

Tuturan mereka membuat saya siap dengan segala konsekuensi kisah yang akan saya dapatkan selama membaca Kumpulan Budak Setan, tepat setelah saya selesai membaca kata pengantar.

***

Buku Kumpulan Budak Setan dibagi ke dalam tiga bagian, sesuai porsi masing-masing penulis yang (masing-masing) juga memberikan empat buah karya "rekonstruksi" mereka. Berikut adalah gambaran isi buku, sesuai dengan urutan di dalam buku, beserta beberapa catatan kecil saya terkait masing-masing cerita.

Eka Kurniawan
  1. Penjaga Malam, yang mengangkat tema mistis lokal di sebuah perkampungan. Kalau kalian pernah mendengar tentang desas-desus anu yang gemar mengambil janin di dalam kandungan, misalnya, maka kalian pasti bisa membayangkan cerita ini berkisah tentang makhluk sejenis apa.
  2. Taman Patah Hati. Pernah mendengar mitos-mitos terkait apa yang akan terjadi (baik atau buruk) terhadap sebuah hubungan berpasangan ketika mengunjungi sebuah tempat? Nah, tema tersebut yang diangkat di cerita ini. Tentunya dengan dibumbui oleh bumbu mistis lainnya. Catatan: sexual content ada, tapi tidak terlalu nganu~
  3. Riwayat Kesendirian. Ah... Tulisan Eka Kurniawan yang paling saya sukai adalah cerita Ina Mia ini. Bukannya merasakan suasana horor, saya justru merasa sangat sedih. Saya sempat berhenti selama beberapa saat setelah membaca kisah ini, karena merasa terlalu emosional, sebelum akhirnya kembali membaca cerita selanjutnya.
  4. Jimat Sero. Tahu tentang cerita jimat kekebalan? Kurang lebih itulah yang menjadi tema dari cerita ini. Catatan: sexual content berada pada level nganu~

Intan Paramaditha
  1. Goyang Penasaran. Kesannya dangdut banget? Tidak juga. Memang, isinya mengingatkan saya pada film-film horor murahan yang beredar di bioskop lokal. Bukan bermakna bahwa isi cerita ini jelek, ya. Isinya menarik dan terlihat sekali isu-isu sosial yang sedang diangkat itu apa saja, serta memperlihatkan ambivalensi sikap dan standar ganda yang kerap diperlihatkan oleh masyarakat kita. Catatan: Sexual content level tidak terlalu nganu~
  2. Apel dan Pisau. Bayangkanlah kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha.  
  3. Pintu. Isu tante/om kesepian bertemu dengan brondong, dibumbui dengan kisah horor dan semi-thriller juga walaupun unsur thriller tidak terlalu terasa. Catatan: sexual content cukup nganu~
  4. Si Manis dan Lelaki Ketujuh. Jika ada yang familiar dengan kisah Si Manis Jembatan Ancol, tentu akan mengira atau membayangkan ini berkisah tentang kisah yang sama. Faktanya? Tidak juga, huehehe. Catatan: sexual content nganu beuts (another clue: BDSM).

Ugoran Prasad
  1. Penjaga Bioskop. Ah, ini, kisah sedih lainnya. Isu kesendirian juga terasa kuat. Awalnya sempat mengira tokoh "Cina" hanya sebagai pemanis, ternyata apa yang dia temukan di ending memperkuat unsur kesedihan di dalam cerita ini. Lagi-lagi membuat saya sempat terhenti membaca sebelum lanjut menyelesaikan tiga cerita terakhir di dalam buku ini. Sigh~
  2. Hantu Nancy. Contoh lain yang mengingatkan saya pada film-film bioskop murahan dengan bumbu LGBT.
  3. Topeng Darah. Woh! Saya sampai membayangkan segala jenis praktik pesugihan ditambah dengan praktik nganu ke rombongan perawan, hingga segala skenario kasus yang setipe dengan kasus Ryan Jombang tetapi dengan bumbu mistis, semuanya campur aduk selama membaca cerita ini. Saya sampai merasa mual. Catatan: Sexual content dan adegan debus serupa praktik kanibalisme itu huwow nganunya~
  4. Hidung Iblis. Penutup yang "manis", saking "manis"-nya membuat saya kembali mual. Jealousy, narcism, mbuh. Tetapi, membaca cerita terakhir di dalam perjalanan mengapresiasi usaha Para Budak yang Kelaparan Penasaran ini sangat memuaskan dahaga. Halah~

Dari ke-tiga penulis, Ugaran Prasad adalah satu-satunya penulis yang karyanya tidak pernah saya baca (online, offline). Meski demikian, gaya penulisan dia adalah yang paling saya sukai di antara ketiganya.

***

Sebagai sebuah proyek menulis membaca ulang karya-karya Abdullah Harahap, kemudian mengolah tema-tema tulisan horor yang biasa diangkat Abdullah Harahap ke dalam tulisan baru sesuai gaya kepenulisan yang khas dari Eka Kurniawan, Intan Paramadhita, Ugoran Prasad, maka proyek ini bagi saya tidak sempurna. Ekspektasi saya adalah juga menemukan nuansa yang sama -- vibe yang serupa -- ketika saya membaca buku Abdullah Harahap. Tetapi sebagai sebuah usaha untuk mengenalkan kembali karya-karya Abdullah Harahap ke "generasi sekarang", terlepas dari fakta bahwa buku-buku Abdullah Harahap masih mudah ditemukan di bookfair Gramedia, maka usaha ini sangat pantas diapresiasi.
Kami membayangkan terbukanya dialog dalam wacana horor yang melintasi berbagai wilayah: sastra, teater, film, dan medan produksi kebudayaan yang lebih luas. Maka horor kami hadirkan di sini dengan semangat perlintasan, sebagaimana kami membaca ulang Abdullah Harahap: berada dalam titik temu sekaligus tegangan antara referensi lokal dan transnasional, antara sastra dan karya populer, antara yang normatif dan yang subversif. Dan sebagaimana budak sejati, kami juga berada di tengah-tengah: antara keinginan untuk merdeka dan kesetiaan yang tak terjelaskan. (p.xvii)

Saya termasuk terlambat dalam membaca buku ini. Jika mengingat bahwa ini buku terbitan tahun 2010 dan saat itu -- lebih tepatnya periode tahun 2008 hingga 2012 -- merupakan masa di mana saya memutuskan berhenti membaca buku lokal, maka rasanya wajar jika saya terlambat 5 tahun dalam menemukan buku bagus ini.

Mungkin, mungkin... jika kalian beruntung, kalian masih akan menemukan buku ini di antara buku-buku Gramedia yang diobral saat mereka sedang bookfair/bazaar. Seperti yang saya alami ketika seorang teman di Surabaya pamer buku ini di grup, dan dengan barbar sabar saya beradu cepat dengan teman lainnya untuk menitip buku ini ke dia yang saat itu sedang bertandang di bookfair Gramedia sana. Lalu, buku ini baru sampai ke tangan saya berbulan-bulan kemudian, ketika si teman mampir ke kos saya di Bandung. Dan saya baru bisa membaca buku ini ketika saya berobat liburan ke rumah di Bandar Lampung. Panjang, ya, prosesnya? Hahaha. (Perjuangannya) worth it, kok.

Selebihnya, saya tidak tahu lagi ke mana harus mencari buku ini jika kalian penasaran ingin membaca dan memilikinya. Menghubungi ketiga penulisnya, mungkin?


Overal 4,5/5



Have a blessed day!