expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Thursday 13 March 2014

Helping Children Cope With Divorce by Edward Teyber




Judul: Helping Children Cope With Divorce
Pengarang: Edward Teyber
Jenis: Textbook
ISBN: 0-7879-5554-X
Penerbit: Jossey-Bass (A Wiley Company)
Tahun Terbit: 2001
Jumlah Halaman: 260+xi



Sebentar...
Saya harus persiapan banyak dulu kali ini. Yaa maklum, pembahasan ini berpotensi menimbulkan ziarah kenangan yang yaagitudeeee~~


Cekbebicek 1,2,3

***


Suatu masa unyu di kala SD.


"Lo tau ga, Ni... Dia kan orangtuanya cere. Ih, pantesan jadi anak nakal. Jangan temenin dia!".
"....."

Oh, jadi... Kalau ada anak yang orangtua-nya bercerai, pasti jadi anak nakal. Noted.

Ke-sotoy-an si Nia dimulai.


***


Suatu masa labil di kala SMP.


"Bokap gue selingkuh, Ni...", kemudian teman cantik ini menangis. 

Oh, Tuhan. Paling gak tahan kalau teman cantik ini sudah mulai curhat. Pasti sedih, pasti bikin speechless.

Apa tadi dia bilang?

WHAT!!
Duh, kalau bokap-nyokap dia cere, gimana nasib temen gue woy?! Nanti dia jadi anak nakal, nanti dia jadi korban broken home. Aaaak tidaaaaaaak!!!

"Kalo bokap-nyokap gue cere gimana, Ni?". Tu kan, dimulai.
"Emm..."

"Bokap gue gilak! Pilih selingkuhan juga gak pakek otak! Cuma beda blok doang dengan rumah gue cobak!! T*LOL gak mikirin keluarga. B*GOK gak mikirin gimana perasaan nyokap gue, gimana perasaan GUE ngeliat dia sama selingkuhan dia yang n*rak itu asik-asik  pelukan di depan kompleks gak tau diri!! ".
"..."

Matik! 
Gue harus ngomong apa ya buat nenangin?

"Kemaren nyokap gue sampe bawa gue berdua doang naik mobil trus ngebut sampe 200an km/jam. Mau matik gue rasanya ketakutan setengah matik. Tapi nyokap gue mana mikirin gimana gue. Dia pasti mikirin gimana dia sama bokap nantinya. A*jing! Dasar orangtua egois dua-duanya. Mana ada yang mikirin anak!!".
"...."

Duh!
Si teman cantik tumben banget ngomong sampai kayak gitu. 

Kembalikan teman cantikku, Tuhan. Biasanya dia kalau bicara selalu lembut, tidak pernah kasar. Kalau marah juga biasanya masih bisa tahan emosi. 

Jangan-jangan memang bener, perceraian orangtua bikin anak jadi nakal. 

Emm, nakal? Apa "nakal"? Bedanya apa? 
Gue kenapa jadi makin susah mikir gini sih?

Si Nia masih belum move on dari sotoyNoted.

Eh, itu sotoy apa naif apa polos apa bodoh? Noted again.

Wait... 
Hubungannya apa sih antara si broken home sama anak jadi nakal? Suram amat. 

Ah, bodok, bukan urusan gue ini. Yang penting Ayah-Ibu enggak kayak gitu, jadi gue sama adek-adek gue amaaaaaan.

Ho'oh.


***


Suatu masa di kala kisah (yang konon katanya paling memorable) di SMA sudah berlangsung beberapa bulan.


"Dia nge-drugs sekarang, Ni...".
"Hah? Siapa?"
"Cowok gue"
"Kok bisa?"
"Nyokapnya minta cere dari bokapnya"
"Trus?"
"Ya gitu, cowok gue gak terima"
"Trus?"
"Ya cowok gue pilih nge-drugs"
"Iya, tapi kenapa tiba-tiba pilih nge-drugs?"
"Kan ortu-nya mau cere"
"Tapi dimana hubungannya sih?"
"Kan ortunya mau cere, Niiiiii"
"Iya. Tapi apa hubungannya?"
"Cowok gue jadi anak korban broken-home tauk!"
"Tapi apa hubungannya?"
"Terserah lah, Ni! Gue kan mau curhat kok malah ditanya-tanya melulu"
"....."

Yee!
Eh, apa sih hubungannya?

Auk ah. Terserah deh. Bukan urusan gue. Mau dia nge-drugs, jadi korban broken-home, trus jadi nakal bebas lah. Yang penting bukan gue. 

Noh, makin banyak yang sekarang ngeh kalau Ibu ngajar  di sini (di SMA saya). 
Matik
Gue harus jadi anak rajin kalau gak mau kenapa-kenapa. 

Anak guru kan... 
Pinter, salah. Begok, salah. Rajin, salah. Males, apalagi. Huh?

Ho'oh.

Si Nia sotoy belum sepenuhnya move on.
Selfish? Mungkin.
Ppfftt.


***


Mulai kuliah dan berkenalan dengan Psikologi. 


Tiba-tiba menemukan kalimat...

A divorce is a legal action between married people to terminate their marriage relationship. It can be referred to as dissolution of marriage and is basically, the legal action that ends the marriage before the death of either spouse.

Duh. Divorce. Ketemu perkara cere lagi.

Lalu.

"Nia inget anak yang kemaren ketemu sama kita?"
"Siapa?"
"Yang anak laki-laki SMP itu"
"Oh iya. Kenapa?"
"Bantuin dia yuk, Ni!"
"Dia kenapa?"
"Ortu-nya divorced. Kasian dia kebingungan"
"Emm..."

Duh.
Gue bisa bantu apa? Kenapa harus cere sih kalau malah bikin anak bingung?

Kemudian.

Tugas kuliah.
Harus ke salah satu sekolah dasar swasta di Depok, untuk wawancara guru dan observasi kelas salah satu siswa di sana.

"Kasian anak itu Mbak Nia"
"Ada apa Bu?"
"Selama sekian tahun saya mengajar, baru kali ini menemukan kasus seperti ini. Kasian dia"
"....."

"Bayangkan ya Mbak Nia... Murid saya ini masih kelas 4, tapi sudah harus menanggung beban seberat itu"
"....."

"Orangtuanya... Aduh saya gak habis pikir deh bisa ada orangtua yang setega itu ke anaknya sendiri!"
"....."

"Orangtua bertengkar silakan, tapi mbok ya jangan di depan anak. Orangtua mau berkelahi sampai seperti apa silakan, tapi mbok ya mikir jangan ngelakuinnya sambil bawa-bawa anak. Orangtua mau bercerai silakan, tapi mbok ya tetep mikirin gimana anak. Jangan egois mikirin diri sendiri sampe lupa dengan anak, lupa dengan gimana perkembangan anak. Mbok ya mikir, gimana masa depan anaknya. Mbok ya mikir, gimana keadaan anaknya. Mbok ya mikir, apa anak kena pengaruh atau gak. Gitu kan harusnya ya Mbak? "
"....."

"Mbak Nia ini yang kuliah Psikologi kan, jadi pasti ngerti lah maksud saya gimana"
"Iya Bu..." 

Duh.
Mulai deh ngait-ngaitin dengan Psikologi.
"Macem eike cenayang", saya membatin saja.

"Coba Mbak Nia pikir gimana orangtua yang kaya gitu?"

Oke, lanjut.

"Gimana, Bu?"
"Anak itu sampe percobaan bunuh diri!".

Eh, WHAT?!

"Tadinya anak itu orangtuanya kaya Mbak. Tapi trus usaha Bapaknya hancur, bangkrut. Ibunya jadi gak bisa terima kalau merekaa jadi miskin. Stress deh. Ibunya nyalahin Bapaknya terus, Bapaknya gak terima disalahin terus. Makin sering beranten di depan anak, bahkan pernah saling pukul di depan anak. Ya wajar kan kalau anaknya jadi ikutan stress?!"
"....."

"Anak ini tadinya pinter Mbak. Ga pernah ada masalah sekalipun. Temenan juga gak pernah ada masalah, sering main dengan anak-anak yang lain. Pas dia mulai stress karena orangtuanya yang gak tau diri itu, anak ini jadi pendiem. Aduh kalau inget ini saya jadi ikutan sedih"
"....."

"Temen-temen taunya kalau nak ini lagi sakit, makanya jadinya pendiem, makanya nilainya jadi turun, makanya jadi susah diajak main lagi. Untungnya temen-temennya juga masih anak-anak, gak sampe mikir jauh kaya kita gini ya Mbak Nia?"
"Iya Bu..."

"Yang kagetnya saya waktu tiba-tiba bulan lalu, pas anak-anak lagi istirahat, tiba-tiba anak ini di kelas nangis. Kepikiran masalahnya. Dan nangisnya itu, aduuuh, saya sedih inget itu. Sampe anak itu jedotin kepalanya di dinding Mbak! Bayangin gimana pasti sedihnya dia ya... Temen-temennya sampe ikutan nangis, antara ikutan sedih dengan anak ini sama ketakutan. Heboh waktu itu. Tapi orangtuanya masih gak peduli. Dipanggil ke sekolah untuk bantu anak malah sibuk saling menyalahkan. Sampe rasanya mau saya tampar mereka itu, kalau saya tidak ingat posisi saya sebagai gurunya anak ini. Kok tega sekali tidak ada yang memikirkan anaknya"

Si Ibu guru mulai meneteskan air mata. 

"Tapi yang paling bikin kaget waktu anak ini lompat dari atas Mbak!"
"....."

"Dasar memang ya kasus perceraian orangtua itu efeknya ke anak jadi buruk. Orangtua kayak gitu keterlaluan!"
"Sabar Bu..."

"Ya saya emosi aja Mbak Nia. Orangtuanya anak-anak yang jadi korban broken home itu pada mikir gak sih kalau perceraian mereka itu bisa berdampak buruk ke anak-anak?!"

Ini kok kayaknya ada yang salah deh.

"Mba Nia jangan bilang siapa-siapa ya..."

Duh, Bu. Ma'af ya. Kali ini saya bercerita di blog ini.

Tapi, saya tidak menuliskan nama Ibu kok, saya lupa nama Ibu siapa. Saya juga tidak menuliskan nama anak yang dimaksud kok Bu, saya juga lupa nama anak itu siapa. Trus, saya juga tidak menuliskan nama sekolah kok Bu, kalau yang ini sih saya masih ingat. Hehe, peace ya Bu...

"Itu percobaan diri anak ini seperti apa, Bu? "
"Kelasnya anak itu ada di lantai 3 kan Mbak..."
"Iya..."
"Nah itu, dia lompat dari dinding pembatas itu ke bawah, ke lapangan"

Ibu guru mengusap air matanya yang mengalir tiada henti.

"Aduh, nak..."
"Itu percobaan yang ke-berapa, Bu?"
"Baru belakangan saya tau kalau itu percobaan yang ke-2. Sebelumnya anak ini minum obat sampai overdosis, tapi gak ketauan sama kami guru-gurunya"

Oh. My. God.


***


To be sure, divorce brings painful feelings that are not short-lived; divorce is difficult for every family member to deal with. Children do not understand the changes that are occurring and are worried about what will happen to them. And although parents are usually unaware of this, children also worry about the well-being of their parents, who now seem so angry and sad.


Dear, parents...
Kasus perceraian itu menyakitkan dan rasa sakitnya akan berlangsung lama. Bukan hanya menyakitkan bagi pasangan, tetapi juga menyakitkan bagi semua anggota keluarga lainnya, termasuk anak. Di sini, anak tidak (semua) paham dengan perubahan yang terjadi dan khawatir dengan kemungkinan yang akan terjadi pada mereka. Hanya saja, terkadang orangtua tidak peka bahwa anak juga mengkhawatirkan keadaan orangtuanya, yang bagi mereka saat ini - orangtua mereka terlihat begitu marah dan sedih.

Anak saja memikirkan bagaimana nasib orangtua akibat perceraian tersebut, kenapa kebanyakan kasus yang saya temui justru orangtua lebih fokus dengan kesedihan dan kemarahan mereka sendiri tanpa melihat bagaimana dampak perceraian orangtua terhadap kondisi psikis anak-anak?

Saya jadi bisa memaklumi kemarahan guru di atas, which is orangtua juga. Orangtua para siswa ketika di sekolah dan orangtua bagi anak-anaknya ketika beliau di rumah.

"Nia inget adik asuh yang namanya (sensor)?"
"Iya, inget"
"Kabur dari rumah"
"Hah?!"
"Protes karena orangtua mau cerai, katanya..."

Ini... Apalagi?


***


Mulai kerja part time.


Berkenalan dengan banyak kasus lewat pekerjaan sebagai konselor di child help line 129 Jakarta, dan berkenalan dengan anak-anak di Lapas Anak Tangerang (keduanya, LPAP dan LPAW, LP anak laki-laki dan LP anak perempuan).

"Kak, aku boleh curhat", begitu kalimat pembuka dari suara anak perempuan di telepon.
"Iya, dek. Boleh..."
"Orangtua aku mau cere, aku harus gimana?"

Uh oh.
Cere, lagi.

"Kak Nia tau gak?"
"Yaa..."
"Kenapa gue bisa sampe jadi anak jalanan trus sekarang masuk penjara?"
"Kamu mau cerita?"
"Bokap sering nyiksa nyokap, Kak. Nyokap kabur dari rumah, ga balik lagi"
"....."
"Tauk deh, diem-diem cere kalik tuh berdua"
"....."
Gue pusing, ya mending kabur dari rumah daripada kena pelampiasan bokap"
"Tukang mabok lagian. Males gue..."
"Trus?"
"Ya gue ngamen. Tapi ngamen lama dapet duitnye. Makanya gue nyopet. Eh, apes ketangkep. Dipenjara deh, hehe"

"Eh, gue juga Kak, kabur dari rumah!"
"Gue juga!"
"Gue juga!"

"Bokap gue selingkuh!"
"Nyokap gue pelacur!"
"Bokap nyokap kumpul kebo!"

"Gue jijik di rumah!"
"Gue juga!"

"Bokap cerein nyokap!"
"Nyokap punya pacar lagi!"

.....

"Gue diperkosa kakak ipar, Kak....", tiba-tiba satu anak membisiki saya kalimat itu, di antara keriuhan cerita anak-anak lainnya tentang kisruh rumah tangga orangtua.



***

Baru lulus.


Dan, bertemu Aa.

Kalau bahas Aa yang ini, saya masih tersenyum sendiri. Aa tea ada di antara "si kamu" di tulisan saya yang ini. Kisah saya dan Aa dulu pernah saya tulis di  blog saya yang multiply. Apa kabar, MULTIPLY? Pertama kali nge-blog tahun 2005 ya di multiply. 

Oh those old times.


Aa spesial, bukan hanya karena saya dan dia punya cerita spesial. Tapi, dia juga teman diskusi saya saat itu. Bagi saya, Aa adalah terapis pribadi. Dia banyak membantu di pembenahan diri saya saat itu. Orangnya tipikal yang tidak pernah men-judge sembarang. Jika dia mengkritisi, maka dia juga akan memberikan saran. 

Cucoks dengan karakter saya yaa, iyaa...

Pekerjaan saya masih di lingkup yang kurang lebih sama,  dan kasus-kasus anak yang saya temui semakin beragam. Beberapa di ranah yang saya belum pernah temui sebelumnya ketika masih kuliah. Kasus anak dengan orangtua yang bercerai pun semakin sering saya temukan.

Ho'oh.

Semakin saya ingin menghindari bertemu dengan kasus-kasus tertentu, maka akan semakin sering saya bertemu dengan kasus-kasus tersebut. The law of attraction

Baru di situ saya berpikir, capek juga kalau menghindari terus. Soalnya, kasus yang ingin saya hindari ada banyak sementara profesi dan pekerjaan menuntut saya untuk siap bertemu dengan kasus apapun. 

Yaudadee~

Hajar terus pantang mundur maju jalan. Kecemplung, yo wes basah kuyup sekalian. Termasuk ketika harus bertemu dengan anak-anak yang orangtuanya bercerai ini.

Di situlah saya merasa beruntung bertemu dengan Aa.
Ciyee~

Aa ini orangtua kandungnya bercerai ketika dia masih SD. Perang hebat. Aa saksi mata untuk setiap pertengkaran di antara orangtua-nya saat itu. "Piring terbang itu biasa, Ni", begitu katanya.

Tapi, Aa jauuuuuh sekali dari image anak korban broken home yang banyak saya temui.

Papa kandung Aa menikah lagi tidak lama setelah bercerai dengan Mama kandung Aa, dan memiliki anak dari hasil pernikahan baru itu. Begitupun sang Mama, menikah lagi ketika Aa masuk SMA dan memiliki anak dari hasil pernikahan ini.

Aa tinggal bersama Mama, Ayah, dan adik hasil pernikahan Mama dan Ayah. Sementara Papa dan Mami tinggal di tempat lain, masih di kota yang sama. Kehidupan keluarga ini begitu rukun dan saling mendukung. Hubungan antar orangtua terjalin dengan baik dan masih saling berkomunikasi, masih saling mengunjungi pula. Hubungan antar anak juga demikian, bahkan sering bertemu untuk beraktivitas  bersama.

Aa banyak bercerita tentang bagaimana proses Papa-Mama bercerai dan tetap berhubungan baik, demi anak-anak. Justru hubungan Papa-Mama jauh lebih baik setelah bercerai dibandingkan ketika masih menikah. Saat mengenalkan ke keluarga baru, sejak status masih calon keluarga baru, juga berlangsung dengan sangat baik. Itu yang membuat Aa dan keluarga baru, termasuk ketika mendapatkan adik-adik baru, memiliki hubungan yang harmonis hingga saat ini. 

Ketika Papa Aa sakit hingga akhirnya meninggal, seluruh keluarga besar bahkan ikut membantu menjaga Papa dan ikut pula membantu proses pemakaman hingga selesai. Pasca Papa meninggal, hubungan mereka dengan Mami dan anak-anak Mami serta adik-adik hasil pernikahan Papa-Mami juga tetap terjalin hingga sekarang.

Dengan kata lain, Aa (dan juga keluarganya) adalah survivor dan ini membantu saya membuka lebih banyak lagi pengalaman untuk berkenalan lebih dalam dengan kasus anak-anak yang orangtuanya bercerai. Bahkan, ada kalanya Aa membantu saya, lewat diskusi-diskusi yang kami lakukan, ketika saya harus menangani kasus serupa.

Bukan. Aa bukan orang Psikologi kok. Tetapi, justru kemampuan dia berhadapan dengan masalah mungkin bisa melebihi kami yang belajar Psikologi. Untuk itulah, Aa bagi saya adalah seorang terapis.

Saya ingat, salah satu dosen saya dulu pernah berkata bahwa tidak semua orang yang belajar Psikologi dapat memaknai apa itu Psikologi dan menjiwai nilai-nilai yang terkandung di dalam Psikologi, serta tidak semua Psikolog berjiwa Psikolog. Maka jangan heran jika bertemu dengan orang-orang yang katanya belajar Psikologi, tetapi sikap dan perilakunya jauh dari Psikologi. Jangan heran juga jika bertemu dengan Psikolog yang tidak menerapkan ilmu Psikologi dengan tepat. Begitu kata beliau.

Noted.
Eh, Sepikoloh seperti saya masuk kategori yang baik dan benar atau tidak ya?
Hmmm...


***


Kuliah profesi.


"Nia sudah mulai praktek belum? Boleh gak kalo ada kasus dari luar ditangani di kampus?"
"Boleh Mbak, daftar ke klinik kampus dulu tapi"
"Caranya?"
"Gini, gini, gini, gini.... (sensor)"
"Btw, kasus  apa dan siapa Mbak?"
"Kasus temenku, dia mau cere sama suaminya"
"Cere?", dalam hati (lagi).
"Iya, kasus cere. Tapi sama sekolah anaknya, sama pengacaranya juga, disaranin ke Psikolog dulu"
"Anaknya kenapa?"
"Gak kenapa-kenapa sih. Katanya formalitas doang, kayanya anaknya gak kenapa-kenapa"
"Formalitas gimana?"
"Ya biar dapetin surat aja. Anaknya nanti dibilangin stress kalo sama Papanya, jadi hak asuh bisa sepenuhnya di Mamanya, di temenku itu. Kalo Nia yang tangani bisa kan?"

Nope.
Saya tidak tertarik.
Bukan karena menghindari kasus perceraian. Saya tidak mau menangani kasus settingan. Pelanggaran kode etik juga dan jelas supervisor saya pasti menolak.



***


"Mbak, ada buku baru gak? Aku mau fotokopi kalo ada yang baru". Ini salah satu sapaan khas kalau berkunjung ke bagian administrasi jurusan.

"Ada Mbak Nia, ini daftarnya kalo mau..."

And there it was...

"Mbak, aku fotokopi  buku yang ini ya..."

Helping Children Cope with Divorce. 
Itu judul buku yang saya maksud.

Seketika saya teringat dengan semua cerita yang pernah saya lalui terkait perceraian orangtua dari teman-teman dan anak-anak yang pernah saya temui sejak masih SD. Teringat pula dengan dampaknya bagi teman-teman saya dan anak-anak lainnya. Teringat pula dengan kisah Aa dan para survivor lainnya.

Terima kasih untuk kisah dan semua pembelajaran yang saya terima.

Terima kasih untuk Aa yang banyak membantu saya di proses penanganan. Terapis pribadi saya saat itu, terapis bayangan bagi anak-anak yang pernah saya temui di saat saya dan Aa masih sering berdiskusi.

Terima kasih...


***


Bandung.


"Nia tau ga kalo dia ternyata orangtunya cere?"

Oh...

"Kak Nia, ada kasus ini, anaknya jadi stress karena ortunya mau cere. Mesti gimana ya?"

Emm...

"Kalo ada kasus anak yang ortunya cere, trus anak ini jadi bermasalah, bisa dibawa ke elo gak Ni? Atau lewat kampus? Atau dibawa ke dosen-dosen elo?"

Sepikoloh, oh, Sepikoloh...

Diseriusin kuliahnya, Ni!
Harusnya profesi Sepikoloh-nya yang part time, bukan yang justru dijadikan full time. Hih!

Tapi kan, tapi kan...
Ada buku ini kan? Jadi kalau suatu saat bertemu lagi dengan kasus serupa, walau tanpa Aa, tetap masih bisa membantu dengan menjadikan buku ini sebagai salah satu referensi. Iya kan?

Lagipula, ada teman-teman seprofesi lainnya, yang pasti tidak keberatan untuk diajak berdiskusi tentang kasus-kasus yang kami tangani.

Ssstt...
Tenang saja, identitas diri - dan hal personal lainnya - terkait kasus yang kami tangani pasti dijaga kerahasiaannya. Kode etik.


Have a blessed day!